LABUAN BAJO Jurnal Bali.com
Begitu masuk pemerintahan Bupati Gaspar Parang Ehok, Dalu Isaka berangkat ke Ruteng untuk bertemu Bupati. “Dalu Isaka pergi ke Ruteng minta kebijakan bagaimana warga saya dan rakyat Bapak (Bupati) yang sudah lama menggarap lahan Pemda (tanah yang sudah diserahkan),” ujarnya.
———————–
Maka atas dasar pertimbangan dan kebijakan tersebut dibuatlah kesepakatan oleh Bupati Gaspar Ehok yang tertuang dalam bentuk Surat Keputusan Bupati (SK) nomor 140 sekitar tahun 1993 Tanggal 25 Mei tentang pemampatan warga masyarakat yang menggarap di dalam tanah milik Pemda. Ia menjelaskan bahwa pemampatan yang dimaksud itu adalah suatu tempat yang memang sengaja dipersiapkan untuk menampung warga yang menggarap di lokasi yang tercecer untuk ditempatkan di satu tempat di sekitaran kawasan Cowang Dereng.
Ia menjelaskan bahwa 7 orang yang disebut sebut dalam tukar guling tanah bandara masuk dalam kelompok garapan. Dan mereka memilik hak penuh untuk mendapatkan ganti tanah sesuai dengan jumlah luas lahan mereka di bandara sesuai dengan perintah SK Nomor 140 Tanggal 25 Mei tahun 1993.
Ada pun ketujuh pemilik lahan di bandara yakni, Karim Kero, Ali Baki, Janda Hasi, Hendrik Dula Hada, Abdurahman Haman, Tarsisius Tapu, dan Haji Ramang Ishaka. Munurutnya, dari ketuju nama pemilik tanah bandara ini, ada satu orang yang memiliki jumlah luas lahan yang paling banyak yakni 24. 000 m² atau 2, 4 Ha atas nama Tarsisius Tapu. “Nah 10. 000 m2 dia sudah dapat yang disamping polres. Yang sisanya 14. 000 ini yang datang ke kami (Pemda Mabar) ke Bupati minta tanah yang 14. 000 yang belum diganti,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa soal dugaan kasus tanah bandara itu disebutnya ada perbedaan penafsiran hukum dimana oleh aparat penegak hukum itu disebut lahan Pemda. “Padahal itu tadi dasarnya pemerintah memberikan tanah itu kepada 7 orang ini berdasarkan mohon kebijakan dari Dalu Isaka waktu itu, dimana warganya sudah lama menggarap,” ujarnya.
Pemberian tanah pengganti oleh Pemda Mabar merupakan amanat dari SK Bupati Gaspar Ehok nomor 140 tahun 1993. Sementara lahirnya SK Tahun 2012 dan SK Perubahan Tahun 2015 merupaka perintah dari SK 140. “Jangan salahkan Pemda Mabar. Karena mereka hanya menjalankan perintah SK 140 itu tadi yakni mohon kebijakan,” ujarnya.
Dari data yang dihimpun media ini, dasar hukum penunjukan lokasi tanah pengganti bagi ketujuh orang pemilik tanah bandara yakni SK Bupati Manggarai Barat Nomor 9/KEP/HK/2012 Tanggal 14 Februari 2012 tentang penunjukan/penetapan tanah pengganti tanah masyarakat pada lokasi tanah pemerintah daerah dan SK perubahannya Nomor 217/ KEP/HK/2015 Tanggal 4 Agustus 2015 tentang perubahan atas Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor 9/KEP/HK/2012 tentang penunjukan/penetapan pengganti tanah masyarakat pada Lokasi Tanah Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat yang berlokasi di Desa Batu Cermin Kecamatan Komodo (sebelah utara rumah jabatan Bupati Mabar).
Belakangan, pemberian lahan ini menjadi persoalan hukum dan saat ini sedang bergulir di Kejaksaan Negeri Mabar. Kasus ini pun menyebabkan beberapa orang harus diperiksa oleh Kejari Mabar. Beberapa lembaga dan instansi ikut diperuksa yakni beberapa nama dari Lembaga DPRD mabar, dari BPN, bagian Tatapem Pemda Mabar, 7 orang pemilik tanah, dan mantan asisten III, Agus Hama. */Saverinus Suryanto