Viral Video Arak Campur Kopi, Gubernur Koster Diminta Perbaiki Komunikasi Publik

15/07/2021 01:47
Array
I Gusti Putu Artha (FOTO/Ist)
banner-single

DENPASAR Jurnlabali.com

Beberapa kali komunikasi public yang dilakukan Gubernur Bali, Wayan Koster mendapat kesan buruk di masyarakat. Kasus terbaru adalah ‘resep’ arak campur kopi. Video pembicaraan Gubernur Koster terkait arak campur kopi ini beredar massif di masyarakat disertai cibiran, meme dan berbagai kesan negative. Untuk itu, Gubernur Koster disarankan memperbaiki pola komunikasi publik.

Hal itu diungkap politisi I Gusti Putu Artha, Rabu 14 Juli 2021 di Denpasar. ‘Blunder komunikasi publik yang dilakukan Gubernur Bali Wayan Koster sudah semakin banyak. Intinya, kualitas komunikasi publik Koster relatif kurang terampil. Blunder terbaru adalah ‘resep’ kopi campur arak. Sebagai rakyat Bali yang ingin gubernurnya tampil berwibawa dan disegani, izinkan saya memberikan saran,’ ujar mantan Komisioner KPU Pusat ini.

Ia lantas menyarankan beberapa hal. Pertama, Kebijakan teknis serahkan kepada Sekda. Gubernur baru bicara jika menyangkut kebijakan strategis. Jika urusan kebijakan teknis mengatasi pandemi Covid-19 seperti implementasi PPKM dan lain-lain, cukup sekda. Jika urusan kebijakan alokasi anggaran APBD untuk mengatasi pandemi barulah level gubernur. Kelak jika ada blunder atas kebijakan teknis itu, masih ada “bumper” wagub, dan gubernur yang meluruskan. Tapi jika gubernur salah, selesai urusan. Citra gubernur yang jatuh bangun.

Kedua, Gubernur saat berkomunikasi mesti sadar aspek psikososial dan komunikasi digital. Maksudnya, secara psiko sosial,  konten informasi itu akan mempengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seluruh rakyat Bali. Bukan hanya audience saat gubernur berkomunikasi tatap muka.

Suasana psikologis dan sosiologis rakyat mesti jadi kalkulasi. Contoh kopi campur arak. Secara sosiologis, rakyat Bali butuh informasi kebijakan Gubernur yang bisa menjalankan PPKM di satu sisi, tapi tidak membatasi pergerakan ekonomi rakyat kecil.

Baca Juga :   Fraksi Gabungan DPRD Bali Usulkan Ibu Kota Bali Dipindah ke Buleleng

‘Rakyat butuh informasi mungkin ada bantuan sosial dan sejenisnya. Lalu muncul dagelan arak dan kopi. Sangat tidak elok. Sekalipun arak minuman khas Bali namun karena ia beralkohol selevel gubernur tak proporsional menyampaikan informasi itu. Persepsi komunikasi yang terbentuk: gubernur “ngajain memunyah”. Secara psikologis, rakyat kelaparan. Mereka butuh sembako, bebas biaya pendidikan, potongan tarif listrik, bebas pajak kendaraan,  bukan arak,’ ujar Artha.

Dikatakkan, dari aspek komunikasi digital, informasi luring yang terbatas orang itu, harus disadari selalu akan sampai ke 4 juta rakyat Bali karena efek komunikasi digital. ‘Betul hanya berempat dengam Forkompimda berfoto tapi foto akan meledak ke seluruh Bali. Dan Koster tak pakai masker, “dibully” rakyat lagi. Sadar kamera penting betul,’ tambahnya.

Berikut, Gubernur mestinya sadar bahasa. Dalam konteks bahasa Bali, kluster rakyat Bali terdiri atas berbagai stratifikasi sosial yang secara kultural memiliki tradisi berbahasa sesuai jenjangnya. Suasana kebatinan ini jadi perhatian.

Ngomong “nasbedag” di Buleleng tidak masalah. Tapi, bicara “nasbedag” dengan audience warga Karangasem, secara psikokomunikasi tentu menjadi persoalan. Pemilihan diksi kata pun harus selektif. ‘Walau saya tahu Gubernur dari Buleleng (saya juga dari Buleleng), tidak harus diksi Buleleng dipakai di mana-mana karena rakyat Bali sangat beragam. Hindari diksi yang berkonotasi kasar, negatif, konyol dan tidak edukatif,’ ujarnya.

Dikatakan lagi, Gubernur mesti sadar gestur. Suka tak suka, posisi sekarang adalah “manggala rakyat Bali” dengan 4 juta rakyat Bali yang beragam sebagai “audience”-nya. Gestur (mimik, gerak tubuh, intonasi kata, ekspresi) tetap harus terkelola dengan baik. ‘Bicara di hadapan para sulinggih dan pemangku, gestur tentu harus berbeda dengan kaum muda,’ tukas Artha.

Kebutuhan citra gubernur berwibawa, disegani, dituruti perintahnya amat penting dalam pandemi ini agar seluruh kebijakan pusat dan daerah tak ditanggapi sinis, dan “meboya” oleh rakyat Bali hanya karena citra gubernur  yang tidak dapat membangun kepercayaan dan wibawa. ‘Sikap “perlawanan rakyat”  atas kebijaka  PPKM darurat ini salah satunya karena kepemimpinan satu komando yang kurang dipercaya dan kurang berwibawa,’ kata Artha.

Baca Juga :   Presiden Jokowi Akan Kunjungi Korban Banjir Bandang Adonara

Kesimpulannnya, lanjut Artha, perbaiki kualitas komunikasi publik dan berdayakan sekda sebagai ujung tombak. ‘Saya berikan “konsultasi gratis” ini karena sayang jika jabatan gubernur terus jadi olok-olok. Sungguh sangat tak elok! Ampura pak Koster yening tyang degag ngajahin pakyan! Kari wenten galah. Nopember 2024 kari doh. Ampura banget!’ tutup Artha. (*/Sin)

Rekomendasi Anda

banner-single-post2
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Terkini Lainnya