Denpasar, Jurnalbali.com – Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan aset Bali dan satu-satunya lembaga ekonomi desa adat di Indonesia yang mengemban multifungsi sebagai lembaga sosial kultural, ekonomi dan religius. Untuk itu pengelolaan LPD harus sehat dan profesional agar mampu menguatkan eksistensi desa adat di Bali.
————————————————-
Namun sayang, pada fakta yang terjadi menunjukan bahwa tidak sedikit LPD mengalami permasalahan-permasalahan hukum yang mendera, salah satunya seperti kasus-kasus korupsi.
Melihat Permasalahan tersebut Yayasan Karma Sabda Nusantara yang menaungi LBH Lingkar Karma mengambil peran untuk membuat wadah intelektual yang diimplementasikan melalui diskusi publik guna membedah permasalahan-permasalahan yang terjadi pada LPD.
Diskusi publik yang digelar Yayasan Karma Sabdha Nusantara tersebut bertajuk ‘Eksistensi LPD di ujung tanduk, kembalikan marwah LPD sebagai lembaga keuangan desa adat’.
Kegiatan tersebut diselenggarakan di Hotel Made Bali pada hari sabtu, (27/8/2022) dengan menghadirkan beberapa narasumber dari bidang ekonomi, dan hukum.
Dosen Fakultas Hukum Unud, Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H. M.Kn. selaku Narasumber pada kegiatan itu berpandangan bahwa dalam menciptakan LPD yang baik dan profesional perlu adanya penegasan oleh pemerintah mengenai permasalahan sumber permodalan dan penyamaan perspektif perundang-undangan.
“Perlu adanya penegasan oleh pemerintah terkait permodalan, serta penyamaan perspektif dgn peraturan perundang-undangan keuangan negara” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan (27/8/22).
Dosen fakultas hukum Unud itu juga menuturkan bahwa keberadaan hukum yang mengikat LPD hadir untuk memastikan adanya fungsi perlingdungan, menjaga hak-hak manusia, menjaga ketertiban dan keteraturan.
“Jika mencermati pada pandangan perlu pengaturan khusus terhadap LPD baik berupa legislasi maupun regulasi Daerah, tentu harus juga mempertimbangkan fungsi hukum itu sendiri, pengaturan LPD melalui Perda tidak serta merta melemahkan LPD sebagai entitas duwe Desa Adat, hukum disini hadir menjalankan fungsi perlindungan, fungsi memelihara kepentingan umum di dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, menjalankan fungsi pengayoman, pemberdayaan, pembinaan, jaminan, ketertiban dan keteraturan, serta penyelesai pertikaian atau sengketa,” ungkap dosen FH Unud yang akrab di panggil SKR.
Pandangan perlunya pengaturan LPD juga harus menggunakan pendekatan pilihan-pilihan rasional, sehingga tidak menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.
Dalam rangka mencari rasionalitas pengaturan LPD, SKR menjelaskan bahwa diperlukan beberapa pendekatan pilihan-pilihan yang rasional yaitu, pilihan nilai, pilihan motif dan pilihan cara yang antara lain :
Pada pilihan nilai, keberadaan LPD didasarkan pada nilai-nilai budaya dan agama masyarakat di Bali, sehingga nilai-nilai yang diemban LPD murni mencerminkan karakter duwe Desa Adat. Sehingga pada pengaturan LPD harus memunculkan karakter khas, konsep, definisi, pemaknaan yang sesuai dengan kekhasan adat Bali. Dibuatkan awig-awig atau dibuatkan pararem khusus yang mengatur keberadaan LPD di Desa Adat.
Pada pilihan nilai tidak bisa melulu keberadaan LPD ditekankan pada prinsip efisiensi, akan tetapi prinsip pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan. Sehingga dibutuhkan “lembaga-lembaga” terkait lainnya yang mendukung nilai-nilai tersebut tetap terjaga, seperti pembina, pengawas dan penjaminan.
Pada pilihan motif, tentu saja keberadaan LPD memiliki motif-motif khusus. Motif LPD tidak sama dengan lembaga ekonomi pada umumnya, atau bentuk usaha lainnya.
LPD tidak sama dengan Usaha Swasta yang profit oriented, LPD tidak sama dengan BUM Des maupun BUMD, (meskipun keberadaan BUM Des dan BUMD tidak melulu profit oriented, akan tetapi juga menekankan pada public utility).
LPD tidak sama dengan usaha Bank, meskipun ada kemiripan menghimpun dan menyalurkan dana. Perbedaan-perbedaan inilah memberikan ciri tersendiri terhadap motif yang diemban LPD. LPD memiliki motif mensejahterakan Krama Desa Adat. Menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat hukum adat yang merupakan Krama Desa Pakraman.
Sehingga pilihan motif ini juga mempengaruhi kegiatan usaha dan cakupan wilayah usaha dari LPD.
Kegiatan usaha LPD hendaknya yang terkait dengan kebutuhan Krama Desa Adat, dan cakupan wilayah usahanya berada dalam satu wilayah Desa Adat, untuk itulah mengapa Otoritas Jasa Keuangan tidak memiliki kewenangan terhadap keberadaan LPD.
Pada pilihan cara, pengelolaan LPD harus responsif terhadap best practice pengelolaan usaha yang baik, tidak menutup diri terhadap arah perubahan yang lebih baik.
Bagaimanapun usaha LPD tidak terlepas dari risiko, yang dapat menghambat kinerja, bahkan mengancam eksistensi LPD, sehingga prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang diperlukan untuk menjamin pengelolaan LPD yang sehat, konsisten terhadap nilai dan motif yang diemban. LPD dalam menjalankan operasionalnya juga tetap mengindahkan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya SKR berpandangan bahwa produk hukum yang progresif, berdaya guna dan eketif adalah produk hukum yang mampu mengakomodir pilihan nilai, pilihan motif, dan pilihan cara.
“Produk hukum yang mampu mengakomodir pilihan nilai, pilihan motif dan pilihan cara, berarti produk hukum tersebut adalah produk hukum yang progresif, berlaku efektif (dapat ditegakkan penerapannya), berdaya guna (berfungsi sesuai tujuannya) solusional (memberikan solusi, pemberlakuannya untuk kesejahteraan orang banyak), dan responsif terhadap perkembangan dan tuntutan jaman. #skrfriends,” pungkas Dosen FH Unud tersebut. (*/BK).