RUTENG, Jurnalbali.com –
Praktisi hukum, Edi Hardum menilai sejumlah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) jongosnya Bupati di kabupaten itu. Pasalnya sejumlah DPRD di daerah itu kurang maksimal melakukan fungsi kontrol sebagai wakil rakyat.
————————-
“Kita harus jujur akui, anggota DPRD kita kurang maksimal dalam melakukan fungsi kontrol, mereka kehilangan peran mewakili suara rakyat di lembaga itu,” beber Edi Hardum pada, Kamis (24/3/2022) malam melalui sambungan telepon.
Pernyataan itu juga, ia sampaikan atas dasar kebijakan bupati dan wakil bupati Manggarai soal pengangkatan sejumlah Tenaga Harian Lepas (THL) di lingkup pemerintahan kabupaten Manggarai yang dinilai ilegal oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana.
Pelarangan perekrutan tenaga honorer menurutnya sudah jelas diatur dalam Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, sementara ketentuan penghapusan tenaga honorer termasuk dalam Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dalam regulasi-regulasi itu, jelasnya, tidak ada celah yang dapat digunakan pemerintah daerah sebagai pembenaran untuk mengangkat THL dan itu masuk kategori merugikan negara jika mengeluarkan dana untuk membayar gaji mereka.
“Dari sisi aturan, undang-undang, pengangkatan THL itu tidak bisa lagi. Jadi sebetulnya itu masuk dalam kerugian negara kalau membayarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan,” tegasnya.
Dia pun meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Manggarai agar jalankan fungsi kontrol supaya selogan perubahan benar-benar dijalankan, jangan sampai itu hanya selogan semata.
“Kalau saya ikuti soal polemik THL awal-awalnya DPRD kritis, saya salut dan harusnya dipertahankan. jangan sampai kekritisan mereka itu hanya formalitas, formalitas artinya hanya di forum itu tapi dibelakang mereka lobi-lobi minta proyek, itu tidak boleh karena DPRD yang minta proyek itu pasti jongos dari eksekutif, mereka tidak akan kritis kalau sudah dapat proyek. Nah itu yang saya minta DPRD itu jangan jadi jongosnya bupati,” terangnya.
Dia juga menjelaskan satu bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 01 maret 2022 sejumlah DPRD dari partai pengusung menentang soal kebijakan Bupati heri menempatkan sejumlah THL di beberapa instansi kabupaten itu. kala itu, lanjutnya bupati hery mengeluarkan pernyataan kepada partai pengusung untuk keluar atau tarek diri sebagai partai pengusung.
“Seharusnya itu ada tindak lanjutnya, silahkan tarek dukungan dalam arti mereka harus benar-benar berada pada koridor yakni sebagai mitra kritis, itu artinya yang salah tetap dikritisi dan yang benar didukung dan diberi apresiasi,” terangnya.
Dia juga menjelaskan bahwa pernyataan dari bupati hery tersebut sebenarnya memberikan kode keras terhadap legislative.
“Maksud saya itu begini, jangan sampai kekritisan mereka kemaren itu hanya formalitas yang artinya mereka mengkritisi itu hanya di forum tetapi di belakang minta-minta proyek, itu tidak boleh, karena DPRD yang minta proyek itu jongosnya eksekutif itu setara dengan stafnya bupati yang selalu membenarkan pernyataan bupati,” bebernya lanjut.
Ia pun meminta kepada DPRD di kabupaten itu untuk tetap bekerja sesuai tupoksi, jangan jadi jongosnya bupati. “Kemaren itu kan bupati terang-terangan berkomentar soal tarik dukungan sebagai partai pengusung, itu kan kode ya kalau berani ayo gayung bersambung tarik dukungan,” tutupnya. (*/EP)