JAKARTA,Jurnalbali.com –
Sejumlah tokoh muda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Jakarta merespon keras isi konten tiktoker Richard Thedore yang menyebut orang NTT tidak jujur. Salah satunya adalah alumnus Lemhanas RI, Dr. (c) MM Ardy Mbalembout, SH, MH, CLA AllArb.
——-
Ia mendesak aparat kepolisian untuk segera memanggil dan memeriksa TikToker Richard Theodere. “Konten saudara Richard Theodore jelas merupakan sebuah pembunuhan terhadap karakter orang NTT. Ia mem-framing orang NTT itu tidak jujur,” kata pria yang akrab disapa Ardy ini saat menggelar jumpa pers di kantornya Law Firm Mbalembout & Associates, MTH Residence, Otista, Jakarta Timur.
Turut hadir dalam konferensi pers ini adalah advokat Fransiska Xaveria Wahon, SH, CTL dan akademisi Maksimus Ramses Lalongkoe, S.Sos, M.Sc. Mereka sepakat dan menyatakan sikap mendesak pihak kepolisian segera menangkap pelaku untuk dimintai keterangan terkait motif di balik konten tersebut.
Grand Design Pembunuhan Karakter
“Spekulasi awam kita saat ini ya ke arah sana. Apalagi jika kita melihat beberapa tokoh asal NTT saat ini sedang berkasus. Jadi ini seolah-olah ingin memframing kita bahwa orang NTT itu tidak jujur jangankan para elitnya, tapi sampai kelas bawahnya pun memang tidak jujur,” paparnya.
Ardy mengaku heran mengapa seorang Richard Theodore bahkan berani melakukan fitnah terhadap orang NTT, locusnya bahkan di Alor, NTT sendiri dan lebih herannya lagi, aparat sama sekali membiarkannya.
Menurutnya, pembiaraan ini menjadi tanda tanya besar apakah ini merupakan sebuah grand design untuk merusak karakter orang NTT.
“Nah, ini yang kita desak kepolisian untuk segera menangkap pelaku meminta keterangan pelaku sehingga kita tahu motifnya. Apakah dia pelaku tunggal atau ada yang memback-up. Jadi ini semacam sebuah grand design begitu,” tanya Ardy.
Lebih lanjut, Ardy mengatakan, jika polisi terus membiarkan pelaku berkeliaran dan selesai dengan permohonan maaf, maka ini akan menjadi preseden buruk ke depannya. Artinya, orang dengan mudah membuat kesalahan yang disengaja di muka umum, menciptakan keresahan lalu minta maaf dan masalah selesai.
“Kita mendesak pihak kepolisian memanggil dan menyidik saudara Richard. Karena kalau dibiarkan ini akan menimbulkan dampak yang lebih besar, apalagi kita tahu sekarang tahun-tahun politik, semuanya bisa dipolitisir,” ungkap Ardy kepada awak media di Jakarta, Kamis, (15/6/23).
Menurut Ardy, tudingan Richard Theodere telah melukai perasaan warga NTT di seluruh Indonesia. Mereka juga mendesak agar Richard segera diproses hukum.
“Bagi saya ini tentu sangat mengganggu dan melukai perasaan kita. Kami juga mendapatkan informasi kemarahan dari orang-orang NTT, banyak yang informasi ke kita, tentunya masyarakat NTT yang ada di NTT dan diaspora NTT di seluruh wilayah nusantara. Mereka sangat marah dan banyak yang meminta untuk diproses,” katanya.
Alumnus magister hukum Universitas Atmajaya itu juga menegaskan, persoalan ini harus segera diproses secara hukum demi mencegah aksi-aksi yang tidak diinginkan, seperti peradilan jalanan.
“Bahkan anak-anak muda ada yang ingin melakukan proses pengadilan jalanan, tetapi kita sampaikan agar persoalan ini diselesaikan lewat jalur hukum,” ungkapnya.
Menurut Ardy, secara hukum penyampaian konten TikTok Richard Theodore, patut diduga telah melanggar Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) Tahun 2006, dengan ancaman hukuman 4 tahun dan atau denda 750 juta rupiah.
Selain itu juga melanggar Pasal 28 ayat 2 tentang menghasut untuk membenci terhadap suatu etnis tertentu, serta diduga melanggar Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang diskriminasi terhadap Ras.
Ia menegaskan, perbuatan Richard Theodore tersebut terkait dengan pasal-pasal dalam UU ITE dan KUHP, merupakan Delic Umum sehingga penyidik tidak perlu ada pengaduan formil dari masyarakat tetapi harus secara pro aktif menyidik dengan cara memanggil yang bersangkutan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Dari sisi hukum jelas ini masuk dalam pelanggaran hukum, karena dikategorikan telah mendorong orang untuk membuat rasa kebencian terhadap suatu kaum, suatu golangan,” tegasnya. (*/Kontri)