DENPASAR, Jurnalbali.com –
Sikap PHDI Bali dan PHDI Kabupaten/Kota se-Bali terkesan ambigu dalam menyikapi penolakan publik soal penetapan Hari Arak. Panjang lebar statemen PHDI menjelaskan betapa arak potensial melanggar ajaran Hindu dan kesehatan, namun di sisi lain, bukannya menolak malah mengubah Hari Arak menjadi Hari Edukasi tentang Minuman Fermentasi/ Arak Bali. Catatan kritis saya adalah :
—————
Terhadap sikap yang terkesan ambigu ini, politisi IGP Artha mempertanyakan beberapa hal, Antara lain, Apa bedanya? Hari edukasi tentang Arak Bali potensial disalahpahami sebagai minuman beralkohol bebas dikonsumsi siapapun.
Hal kedua yang dipersoalkan mantan jurnalis ini, jika dimaksudkan sebagai edukasi mengapa harus dilegitimasi menjadi hari khusus?
‘Bukankah edukasi berlangsung terus menerus selama kebijakan itu dieksekusi. Jika ada hari edukasi artinya di luar hari itu dipahami tak perlu edukasi intensif. Jadi aneh, sebuah proses edukasi harus dibuat sakral pakai Hari Peringatan segala. Besok-besok PHDI jangan-jangan ikut mengusulkan Hari Edukasi Tajen,’ ujar Arta.
Selanjutnya, Arta juga mempersoalkan, jika dengan berbagai pertimbangan, Hari Arak lebih potensial disalahpahami seolah-olah pemerintah melegalkan mabuk-mabukan dan itu melanggar ajaran Hindu, seharusnya PHDI tegas menolak penetapan Hari Arak. Namun mendukung upaya sosialiasi dan fokus produksi arak yang didistribusikan secara terkendali.
Menurut dia, Pemprov Bali seperti kehilangan akal sehat dengan mengglorifikasi minuman arak. ‘Jika niatnya mendorong dan melindungi kearifan lokal dan UMKM, salah besar melabeli Hari Arak. Serius saja pada dukungan penguatan mutu arak Bali dan distribusi yang terkendali. Jika tidak sebaiknya, Pemprov Bali juga jangan tanggung-tanggung. Sekalian saja, tambah label nama Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura dengan Pulau Arak. Berani?,’ pungkasnya. (*/W-49)